JUMLAH PEREMPUAN LEBIH BANYAK HADIR DI GEREJA DIBANDINGKAN DARI PRIA, MENGAPA????

“Perempuan adalah pria yang tidak sempurna”. Inilah yang akhirnya yang menjadi dasar pemikiran kebudayaan helenistik kuno dalam memandang perempuan. Hidup dalam cap sebagai seseorang yang “tidak sempurna” akhirnya membuat golongan perempuan menjadi warga kelas dua. Perempuan diperlakukan “seadanya” saja. Mereka dibatasi perkembangan dan ruang bertumbuhnya. Bahkan yang paling kejam, mereka sering sekali diperlakukan diskriminatif dalam kehidupan sehari-hari mereka. Perempuan pun hidup dalam kekangan ketika itu.

Salah seorang dosen saya bercerita. “Tahukah kalian (para mahasiswa), mengapa Yesus pernah mengatakan “dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, disitu Aku ada ditengah-tengah mereka.”? Katanya ketika itu, ada sebuah syarat dalam menjalankan ibadah dalam tradisi orang Yahudi. Syarat itu adalah: dalam menjalankan sebuah ibadah, harus ada sepuluh laki-laki, baru sebuah ibadah bisa dilakukan. Sehingga, kalau pun ada seribu wanita dan sembilan laki-laki, maka ibadah tidak bisa dilakukan. Lihatlah konteks itu, laki-laki dijunjung begitu tinggi, sementara perempuan direndahkan kehadirannya.
Itu juga yang menjadi konteks perempuan dizaman Rasul Paulus. Perempuan didudukkan pada kasta kedua. Mungkin juga dengan sangat terpaksa, Paulus menuliskan sebuah pesan yang sangat kontroversial diera emansipasi perempuan sekarang yaitu “perempuan harus berdiam diri dalam sebuah pertemuan ibadah”. Ketika itu, pesan ini bukanlah sebuah permasalahan yang serius. Bahkan itu merupakan sebuah hal yang biasa dan wajar saja karena itu merupakan konteks kebudayaan yang berlaku ketika itu.
Tapi sekarang semua lain. Perempuan di gereja tumbuh menjadi sebuah kekuatan baru. Apakah karena mereka lebih mampu dari pada pria? Saya tidak mau masuk lebih dalam kearea ini karena prinsip bahwa pelayanan itu dilihat bukan karena kemampuan, tapi kemauan. Kalau begitu apa yang membuat mereka kuat? Jawabannya adalah jumlahnya. Jika jeli mengamati, maka kita akan melihat sebuah fakta unik bahwa kebanyakan orang yang hadir ke gereja adalah perempuan. Tidak sampai disitu, dalam aktifitas gereja pun seperti kelompok pendalaman Alkitab (PA), kebaktian doa, persekutuan, dsb kebanyakan dihadiri juga oleh perempuan. Bahkan dalam posisi-posisi stategis komisi-komisi pun banyak diduduki oleh perempuan.
Perlu diingat, fenomena ini tidak hanya terjadi di gereja saja. Di lembaga-lembaga Kristen (para church) pun terjadi hal yang serupa. Katakanlah misalnya di PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen). Kebanyakan mereka yang hadir adalah perempuan. Kebanyakan mereka yang jadi pengurus adalah perempuan. Sial bagi mereka kaum pria, ada saja orang usil yang menuduh bahwa mereka yang sering ikut PMK adalah pria yang keperempuanan.
Fakta memang menunjukkan bahwa jumlah perempuan memang 1:5 dengan pria. Namun apakah ini yang menjadi faktor utama? Tidak adakah yang lain?
Saya melihat salah satu faktornya adalah karena iklim kehidupan gereja memang lebih kondusif dan cocok bagi perempuan. Kondusif dalam artian penekanan yang berlebih sehingga “menguntungkan” perempuan. Iklim yang saya  maksudkan adalah cara hidup dalam gereja atau dalam komunitas kekristenan lainnya yang lebih senang sharing daripada berdebat. Pesan khotbah yang lebih menekankan mengalah dari pada melawan. Anjuran untuk lebih manut dari pada memrotes. Gaya membelai ditonjolkan dari pada menghajar. Masih banyak lagi dimana penekanannya lebih kuat pada sisi feminin manusia dibanding sisi maskulinnya. Sehingga jangan heran jika kawan saya Dodi (nama samaran) lebih memilih lapangan futsal dari pada pertemuan rapat gereja.
Penekankan yang berlebihan selalu memunculkan ketidakseimbangan. Tidak ada salahnya berdebat dalam gereja atau komunitas kekristenan lainnya selama itu dijalani dengan cinta kasih dan motivasi memajukan kerajaan Allah. Bukankah Paulus dan Barnabas pun pernah berdebat? Tidak ada salahnya untuk protes demi sesuatu yang baik. Bukankah Paulus juga memrotes Kefas yang tidak konsisten? Tidak ada salahnya menghajar untuk membangun. Bukankah Yesus juga menjungkirbalikan dagangan orang-orang di depan bait Allah?
Allah itu roh. Dia tidak berjenis kelamin. Dia tidak terperangkap dalam jenis kelamin feminin atau maskulin. Dia punya kasih yang lebih hebat dari kasih seorang ibu. Tapi yang sering terlupakan adalah Dia juga punya sisi kemaskulinan seperti ketegasan, keras, berani berargumen (ingat ketika Dia menantang Ayub agar berbicara sebagai lelaki), dan sisi-sisi maskulin lainnya. Sehingga Allah seperti inilah yang seharusnya diajarkan dalam gereja dan komunitas kekristenan lainnya.
Sehingga akar sesungguhnya kenapa kaum perempuan lebih dominan secara kuantitatif dalam gereja adalah pengajaran, pendidikan, atau pembinaan dalam gereja yang dilakukan secara tidak proprosional. Baik itu melalui pengajaran lewat mimbar atau dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Setujukah Anda?
 

Tinggalkan komentar