BUDAYA BATAK DALAM AGAMA KRISTEN

Tortor dan gondang tidak lagi sebagai sarana pemujaan dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang tetapi sebagai sarana mengungkapkan syukur dan sukacita kepada Allah Bapa yang menciptakan langit dan bumi, Tuhan Yesus Kristus yang menyelamatkan kita dari dosa, dan Roh Kudus yang membaharui hidup dan mendirikan gereja

Nasi sangsang atau roti selai tidak ada bedanya di hadapan Tuhan. Tenunan ulos Batak dengan batik Jawa atau brokart Prancis sama saja nilainya di hadapan Kristus. Taganing atau orgel adalah sama-sama alat yang tidak bernyawa dan netral. keduanya dapat dipakai memuliakan Allah

Sebagai orang Kristen kita dipanggil bukan untuk menjauhkan diri atau memusuhi budaya (tortor, gondang dan ulos) namun untuk menggarami dan meneranginya dengan firman Tuhan, kasih dan kebenaranNya. Bukan membakar ulos tetapi memberinya makna baru yang kristiani

Seberapa salah PLN?

Perusahaan Listrik Negara, pemegang hak monopoli penyaluran setrum ke masyarakat.
Setiap ada pemadaman listrik, kita selalu memaki, selalu ada data yg belum sempat tersimpan, download yg tanggung, selalu ada Tugas Akhir yg tertunda, anak-anak tidak bisa tidur, tak bisa menahan panasnya kota, dan ujung-ujungnya jadi rejeki bagi penyedia es, dan rejeki lebih raksasa kepada penyedia genset (generator set).

Banyak teman ku yg nota bene bekerja di PLN memakai 2 pakaian, pakaian dinas di simpan selama perjanan ke kantor, saat mereka juga ngapelin pacar, mereka selalu was-was, takut pemadaman bergilir, dan kembali mereka akan mendengar cacian itu lagi. Tragis kan? 

Saat aku dan pkerja PLN pergi berburu sticker di Pajus ( tempat jual alat2 kuliah/aksesoris ), iseng bertanya, logo PLN ga ada? ‘buat apa? Mati lampu trus’…aku cm bisa tertawa sendiri.

Apakah salah dari PLN? Apakah salah mereka pekerja atau salah dari pemerintah?
Menurut ku itu semua salah dari pemerintah.

Dari awal perancangan PLN oleh pemerintah, mereka lebih memilih tenaga diesel, yg pada waktu itu masih murah, dan praktis, pada jaman itu. Mereka meninggalan PLTA, padahal begitu banyaknya air terjun di negeri ini yg alami, tidak harus seperti di negara lain, yg harus membangun dam. Hanya dengan alasan biaya mahal. Mereka tidak pernah berpikir jauh sebelum bertindak, atau malah terlalu jauh berpikirnya? Dengan jalan memilih tenaga Diesel, yg pastinya lebih gampang rusak, maka pengalokasian dana perawatan, dan pergantian baru lebih besar, maka jalan untuk korupsi akan lebih banyak lagi kan? Di semua segi akan banyak, dari pengadaan bahan bakar, perawatan, dan pengadaan baru. Mantap.

Sementara apabila lebih memilih PLTA, atau PLTU, yg biaya perawatan lebih murah, biaya operasional lebh murah, dan mesin yg tahan lama, apa coba yg bisa di olah? 

Dan lagi pemerintah membuat ulah pada program pengadaan 10.000MW-nya, mereka menggandeng para kontraktor yg sama sekali buta dengan setrum, mereka adalah orang-orang biasa yg pengen nyari untung pribadi ja. Buat mereka yg penting, pesanan datang, uang ada, maka barang akan di cari, tanpa perduli mutu barang itu. Dan sekarang kita lihat, semua pembangkit kita buatan cina, yg cina bahkan tidak pernah memakai jenis itu, kata lainnya adalah barang mereka yg tidak laku, bahkan sama mereka sendiri, dengan alasan boros, tidak praktis dan manja, Tapi dengan alasan harga murah, barang itu sampai jg di negeri kita tercinta ini. Sementara barang yg di tawarkan negara lain yg memiliki mutu jauh lebih baik, tidak di lirik sama sekali, kembali alasan harga. Mutu itu punya harga loh.

Coba seandainya pegawai PLN yg mencari pembangkit sendiri, maka bisa di pastikan mereka akan mencari mutu terbaik, sama halnya jika mencari mobil, orang bengkel akan mencari yg terbaik bagi dirinya, dan harga yg layak kan?

Anggota PLN wajar mendapat upah yg di atas rata2 pegawai lain, tidak ada pekerjaan pegawai biasa yg seberbahaya pegawai PLN, semua berhubungan maut secara langsung,Tidak ada pegawai lain yg kena caci maki, walaupun itu bukan salah mereka, itu juga mesti di ganjar dengan upah loh. Siapa yg bisa menahan cacian, sumpah serapah? Itu semua DOA, jadi kebayang jika itu semua terkabul? Phew…

Jadi jangan salah kan jika negara ini tidak bisa lepas dari masalah listrik. Jangan salahkan anggota PLN, mereka hanya pekerja, mereka hanya mengikuti perintah, dari sang Pemerintah.

Gambar

 

FENOMENA PEMBAKARAN ULOS BATAK TOBA DIPANDANG DARI ANTROPOLOGI-KEBUDAYAAN DAN ALKITAB

Sulit untuk dipungkiri bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang inheren dalam kehidupan manusia. Kebudayaan tampaknya menjadi sesuatu yang sudah ada dengan sendirinya dalam diri manusia secara individu karena manusia diciptakan seturut peta dan teladan Allah (Kej 1:26). Gambar dan rupa Allah ini akhirnya menjadikan manusia menjadi mahluk yang rasional, berakal, berpikir, dan tahu membedakan mana yang baik dan benar. Dengan kemampuan yang dimilikinya inilah, maka manusia mampu menghasilkan budaya dan akan berkembang menjadi kebudayaan[1] yang akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupannya baik manusia dipandang sebagai mahluk individu atau pun sebagai mahluk sosial.  
            Kebudayaan merupakan sesuatu yang terus berkembang. Meminjam konsep paradigma-nya Thomas S. Kuhn, dimana dia mengatakan bahwa perubahan paradigma-paradigma akan turut serta mengubah dunia dan cara hidupnya,[2] demikian jugalah kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan akan terus bergerak seiring dengan liatnya pergerakan aktifitas ekonomi global, yang mana ini akan mempengaruhi perkembangan teknologi dan sebagai konsekuensi logisnya adalah pertukaran informasi yang tak terkendali yang akan berdampak pada sekularisasi dan globalisasi, sehingga niscaya akan mempengaruhi kebudayaan disetiap tempat di muka bumi ini. Dampak deregionalisasi yang kuat diabad dua puluh satu ini, sebenarnya mau tidak mau memaksa manusia untuk merekonseptualisasikan lagi kebudayaan yang sedang dijalankan dan dianutnya.
            Catatan sejarah menunjukkan bahwa kebudayaan pun merupakan sesuatu yang sering sekali berbenturan. Dia berbenturan dengan kebudayaan yang lain yang datang dari luarnya dan yang paling sering menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan adalah benturan budaya dengan agama, terkhususnya Injil. Dalam pergolakannya, sering sekali kebudayaan lebih tinggi dari Injil, atau kebudayaan bisa menjadi setara dengan Injil, atau Injil lebih tinggi sehingga budaya ditelantarkan bahkan ada juga yang menganggap kebudayaan itu menjadi seperti “musuh” yang harus dibinasakan dan dimusnahkan karena dianggap sebagai berhala, namun ada juga yang mencoba mengintegrasikan kebudayaan dengan Injil, yang dalam perkembangannya akan menjadi sinkretis.
            Kebudayaan Batak Toba juga tidak bisa lepas dari benturan-benturan ini. Label sipelebegu[3]sangat kuat disematkan dalam kebudayaan Batak Toba. Banyak hal dan pandangan yang menjelaskan mengapa hal ini terjadi, diantaranya adalah disebabkan praktek-praktek yang dilakoni oleh masyarakat Batak Toba sekarang ini konon dikatakan masih tidak berubah dari praktek yang dilakoni oleh nenek moyang yang  terdahulu yang sarat akan budaya pagan. Ritual-ritual seperti mangokal holi (menggali tulang belulang nenek moyang yang telah mati), budaya sigale-gale (sebuah ritual budaya boneka kayu yang konon katanya digerakan oleh roh-roh nenek moyang) di Pulau Samosir, dan yang masih hangat sampai sekarang adalah fenomena pembakaran ulos karena dianggap sebagai benda yang najis dan “menyimpan” roh jahat di dalamnya.
            Tulisan ini akan coba melihat dan memberi tanggapan salah satu fenomena dari fenomena yang ada dan kontroversial dalam kebudayaan Batak yaitu ulos Batak Toba. Adanya gerakan untuk membakar ulos dan membuangnya dengan alasan tertentu walaupun sebenarnya jika dikonversikan kedalam rupiah, ulos yang dibakar dan dibuang itu bisa menyentuh angka jutaan rupiah. Kelompok ini menganggap ulos adalah benda yang najis dan benda berhala sehingga harus dimusnahkan. Yang membuat fenomena ini menjadi semakin menarik untuk diperbincangkan adalah kelompok yang menganggap ulos sebagai benda najis melakukan pembakaran ulos dikarenakan sebuah alasan yang rohani dan bisa dikatakan juga Alkitabiah. Mereka melakukan itu dengan sebuah alasan karena mencintai dan mengasihi Allah dengan sungguh-sungguh.
            Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti, bagaimana sebenarnya ulos jika dipandang dari sudut antroplogi-kebudayaan? Apa perannya dalam kebudayaan orang Batak Toba? Benarkah ulos ini menjadi sesuatu yang najis dan berhala? Apa yang menjadi dasar pemikiran ulos menjadi sesuatu yang najis? Bagaimana Alkitab sebagai otoritas tertinggi dalam menyikapi fenomena ini?
 
PEMBAKARAN ULOS BATAK TOBA
            Pembakaran ulos sering sekali terjadi karena didorong oleh motif bahwa ulos adalah benda yang najis. Pemikiran seperti ini terjadi dikarenakan beberapa alasan.
a)      Proses pembuatan ulos melibatkan roh nenek moyang.
Dikarenkan penulis adalah seorang Batak dan dibesarkan dalam keluarga Batak yang masih memegang adat dan kebudayaan, sehingga sedikit banyak penulis tahu akan cerita-cerita legenda di balik pembuatan ulos.
            Ulos biasanya ditenun di bawah kolong rumah oleh para perempuan. Tidak ada alasan yang pasti kenapa memilih tempat itu. Pembuatan ulos bisa memakan waktu yang sangat lama, tergantung pada tingkat kerumitan motifnya. Sangat besar kemungkinannya, apalagi dizaman pra-Kristen proses penenunan ini melibatkan unsur-unsur kepercayaan atau roh-roh nenek moyang seperti halnya pembangunan rumah, panen sawah, dan acara-acara adat yang lain juga melibatkan sistem kepercayaan animisme yang dianut ketika itu.
            Menurut pengakuan dan tuturan para tetua-tetua adat, untuk menghasilkan karya dengan tingkat kerumitan yang tinggi seperti ulos, tidak mungkin dihasilkan oleh tenaga yang natural saja. Harus dibutuhkan tenaga yang supranatural, yaitu roh nenek moyang untuk menggerakan tangan, kaki, dan otak si penenun agar bisa menghasilkan tenunan yang baik. Sehingga sebelum menenun ulos, terlebih dahulu dilakukan ritual agar roh nenek moyang merasuki si penenun agar mampu menghasilkan karya yang baik.
b)      Proses pewarnaan ulos melibatkan unsur-unsur najis.
Hanya ada tiga unsur warna dasar dalam ulos yaitu hitam, putih, dan merah. Konon katanya, warna hitam di dapat dari getah tanaman, putih dari kapas, dan merah dari darah manusia atau binatang. Hal ini menjadi semakin mendiskreditkan ulos. Apalagi ketika Kristen sudah masuk, maka hal ini bisa bertentangan dengan aturan-aturan yang terdapat dalam kitab Imamat tentang darah.
c)      Ulos sudah disertakan dalam upacara adat Batak.[4]
Pendapat ini sebenarnya berasal dari Pdt. Parhusip yang coba ditanggapi oleh Richard Sinaga. Dengan anggapan bahwa budaya Batak adalah budaya pagan dan animisme, yaitu penyembah berhala yaitu Debata Mula Jadi Na Bolon, maka seluruh budaya dan adat Batak sudah tercemar. Sehingga, unsur-unsur atau komponen yang terdapat didalamnya pastilah sudah najis dan cemar.
            Ulos adalah salah satu komponen paling penting dalam acara ritual orang Batak, maka dengan alasan inilah ulos menjadi serta merta najis dan tidak boleh dijamah.
d)     Pintu masuk melalui benda-benda.
Ulos menjadi semakin najis ketika dipercayai bahwa benda-benda bisa menjadi medium tempat tinggal roh-roh jahat yang kelak akan mengganggu sipemilik. Oleh karena itulah, maka ulos harus segera dibakar agar tidak mengganggu keselamatan yang sudah diterima dari Yesus Kristus.
 
ULOS BATAK TOBA: SUDUT PANDANG ANTROPOLOGI-KEBUDAYAAN
            Sebelum melihat lebih jauh pandangan mengenai ulos Batak Toba, ada baiknya jika melihat terlebih dahulu defenisi dari antropologi budaya itu sendiri.
Defenisi Antroplogi-Kebudayaan
            Secara etimologi, antropologi berasal dari kata Yunani yaitu anthropos yang artinya “manusia” dan logia yang artinya “ilmu” atau “studi”. Jadi secara sederhana, antropologi dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, antropologi didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari ilmu tentang manusia, tentang asal-usulnya, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau.
            Dalam pembagiannya, antropologi dibagi menjadi empat bagian:[5]
*        Biological Anthroplogy
*        Cultural and or Social Anthroplogy
*        Lingusitic Anthropology
*        Archeology
Dalam tulisan ini akan difokuskan pada Cultural and or Social Anthroplogy. Dalam prakteknya sosiologi dan kebudayaan sering disatukan khususnya di Inggris, sehingga disiplin ilmu ini cukup disebut sebagai Cultural Anthropology. Fokus dari disiplin ilmu ini adalah sistem kekerabatan dan organisasi sosial, organisasi dan ekonomi dan politik, hukum dan pemecahan konflik, pola-pola penggunaan dan pertukaran, benda budaya, teknik infrastruktur, relasi gender, kesukuan, dsb (penekanan oleh penulis).[6] 
            Jika dilihat dari etimologinya, kebudayaan berasal dari kata budaya, dimana kata ini berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddahayah dan kata ini berasal dari kata buddhi yang berarti “akal budi”. Dalam etimologi bahasa Inggris, kata culture berasal dari kata Latin colore yang berarti mengolah tanah. Kebudayaan memang agak sulit untuk didefenisikan, namun Thomas Kristiatmo memberi defenisi yang cukup kompatibel dalam memandang persoalan defenisi yang ada. Dia mengatakan
Kebudayaan adalah istilah yang licin. Tidak mudah mendefenisikan kebudayaan. … Tetapi colere juga berarti menghormati, menyembah, memuja, beribadat, dan merayakan. … Mulanya cultura menunjuk pada kultivasi tanah, dan kemudian ia menunjuk pada kultivasi terhadap kemampuan berpikir manusia. Mulai abad kedelapan belas, kebudayaan mulai dipahami dalam kaitannya dengan penggemblengan mental manusia.[7]
Sehingga dapatlah disimpulkan bahwa antropologi-kebudayaan itu adalah suatu disiplin ilmu yang berasal dari akal budi atau kemampuan berpikir yang bertujuan untuk mempelajari manusia – yang tidak bisa lepas dari manusia yang lain,[8] dimana komponen-komponen yang termasuk di dalamnya adalah cara hidup, benda budaya, struktur organisasi sosial, kepercayaan, dan segala sesuatu yang bertujuan untuk mengkultivasi pemikiran dan mental manusia, sehingga dalam kesehariannya seorang individu atau sekelompok masyarakat memiliki bentuk dan makna dalam kehidupannya.
            Ilmu antroplogi-kebudayaan adalah satu cabang ilmu yang sangat luas. Ilmu ini akan bersentuhan langsung dengan segala sesuatu yang bersentuhan dengan proses pembentukan cara pandang (worldview) seperti filsafat, etika, estetika, mitologi, aliran kepercayaan tertentu, dan juga termasuk agama. Inilah yang menyebabkan disiplin ilmu ini menjadi penting dalam mengawal perjalanan peradaban dunia.   
            Berdasarkan epistemologinya, kebudayaan juga bisa dibagi menjadi dua unsur yaitu pertama,pola dari perilaku dan kedua, adalah pola untuk perilaku.[9] Pola dari perilaku adalah pola kehidupan yang tercermin dari perilaku  atau produk material dan sosial yang dilakukan berulang dan cenderung teratur oleh suatu masyarakat serta menjadi ciri khas bagi masyarakat yang bersangkutan. Dapat disimpulkan pola dari perilaku adalah sesuatu yang kasat mata atau terlihat dalam kehidupan masyatakat tertentu. Hal ini dapat dibagi menjadi tujuh bagian yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian.[10] Pola untuk perilaku adalah sistem pengetahuan yang disusun untuk mengatur dan menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat tertentu. Hal ini adalah hal yang tidak kasat mata dan cenderung lebih bersifat filosofis.
 
Ulos Batak Toba Dalam Perspektif Antropologi-Kebudayaan
            Ulos dalam defenisi yang sederhana dapat diartikan sebagai selimut. Fungsi selimut adalah untuk menghangatkan tubuh, terkhusus digunakan sangat perlu ketika sedang tidur. Hal ini akan menjadi sangat relevan jika melihat kondisi iklim di tanah batak ketika itu yang dingin. Berdasarkan defenisi yang harafiah inilah, maka suku Batak membagi sumber kehangatan menjadi tiga yaitu matahari, api, dan ulos.[11]
            Fungsi lain ulos juga sering dipakai sebagai bahan baku pakaian. Oloan Pardede dalam satu tulisannya memberti sedikit keterangan dalam hal ini
…ulos adalah pakaian sehari-hari. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya disebut “hande-hande” sedang bagian bawah disebut “singkot” kemudian bagian penutup kepala disebut “tali-tali” atau “detar”.
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”, untuk penutup pungung disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”. Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa”.[12]
Fungsi lain dari ulos adalah lambang memberi kehangatan dan cinta kasih.[13] Ulos sering diberikan dalam pesta-pesta adat oleh pihak natoras (orang tua) kepada ianakhon (anak-anak atau keturunan dari orang tua), atau kepada hula-hula terhadap boru.  
            Dari sini jelas terlihat, dengan mengacu pada defenisi antropologi-kebudayaan yang sudah dipaparkan, maka dapat didefenisikan bahwa ulos adalah produk dari kebudayaan. Ulos adalah salah satu komponen yang digunakan dalam cara hidup masyarakat Batak ketika itu. Tidak hanya sampai disitu, ulos juga adalah salah satu hasil proses berpikir manusia yang menghasilkan suatu karya seni, yang merupakan salah satu unsur dari pola dari perilaku atau surface level dari kebudayaan Batak. Terlepas dari polemik apakah ulos sudah bercampur dengan penyembahan berhala atau tidak, apakah unsursipelebegu masih begitu kental atau tidak, ulos tetap menjadi sebuah produk kebudayaan.
            Di dalamnya – baik dalam pemakaian atau praktis keseharian dan dalam materi ulos itu sendiri – terdapat unsur-unsur filosofis, nilai luhur, dan norma yang ada dalam kehidupan masyarakat Batak Toba itu sendiri. Unsur filosofis inilah yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja karena dalam unsur-unsur filosofis ini berimplikasi pada pengkultivikasian mental dan pemikiran masyarakat Batak Toba itu sendiri.
 
ULOS BATAK TOBA: SUDUT PANDANG ALKITAB
            Tidak ada memang indikasi yang jelas dalam Alkitab dalam membicarakan produk budaya atau adat. Hal ini dikarenakan Alkitab bukanlah sebuah buku yang membicarakan hal-hal yang seperti itu, tetapi sebuah buku yang membicarakan tentang karya keselamatan yang dikerjakan oleh Bapa melalui Anak-Nya, Tuhan Yesus Kristus.
            Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, manusia menjadi mahluk yang berbudaya disebabkan manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kej 1:26) sehingga manusia bisa menjadi mahluk yang rasional dan mampu menciptakan budaya.
            Ulos selain menjadi sebuah produk dari kebudayaan, bisa juga dia dikategorikan menjadi sebuah benda seni. Kesaksian Alkitab menunjukkan bahwa Tuhan adalah pribadi yang sangat menghargai sebuah karya seni. Dunia dan alam semesta diciptakannya dengan baik layaknya seorang maestro yang sangat ahli dalam mengatur semuanya menjadi dilihat “sungguh amat baik” (Kej 1:31). Dia mampu menata segala keindahan yang ada sehingga mampu menghasilkan keindahan visual yang menarik dan baik.[14] Allah menghargai keindahan karena Dia sendiri yang menciptakannya. Demikian juga seharusnya ulos harus dihargai sebagai sebuah karya seni yang memiliki keindahan. Allah sendiri yang menaruh kemampuan dalam manusia. Dia sendiri yang menaruh cita rasa seni itu.
            Di tengah sebuah komunitas yang masih sarat dengan budaya pagan (penyembahan berhala), Paulus kepada jemaat di Korintus menuliskan surat pertama kepada mereka dengan bunyi, “”Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah. Kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan.” Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah.” (I Kor 8:8-9). Perlu dipahami dengan baik bahwa jemaat Korintus adalah jemaat yang tidak memiliki latar belakang Yahudi, sehingga mereka tidak pernah dididik dengan tata krama, aturan, dan hukum orang Yahudi.[15] Banyak hal yang harus diajarkan kepada  mereka oleh Rasul Paulus agar mereka bisa dewasa dalam iman. Salah satu hal yang disoroti oleh Paulus dalam tulisannya adalah mengenai budaya pagan yaitu memakan makanan berhala.
            Kota Korintus adalah sebuah kota metropolitan dizamannya. Kota ini sangat kental dengan pengaruh budaya Yunani yang sangat rasionalistis dan sangat dekat dengan penyembahan berhala. Dengan pemikiran itu, mereka berkata bahwa “berhala bukanlah apa-apa”.[16] Kondisi inilah yang melatarbelakangi semacam adanya perbedaan pendapat di antara jemaat Korintus. Apakah masih diperbolehkan mengikuti budaya pagan, yaitu memakan makanan berhala?
            Paulus memberikan jawaban yang cukup menarik. Dia mengatakan bahwa seperti di ay. 8 bahwa makanan tidak memberi pengaruh apapun pada keselamatan, asalkan kebebasan itu jangan sampai  membuat orang menjadi tersandung. Paulus memperbolehkan memakan makanan berhala itu bagi mereka yang sudah memperoleh “pengetahuan”, namun harus tetap menjaga  orang yang melihat tindakan itu yang belum memiliki “pengetahuan” itu.
            Demikian halnya juga ulos, ulos tidak membawa seseorang dekat atau menjadi jauh dari Allah, karena hanya Yesus Kristuslah yang mampu membawa manusia dekat dengan Allah dengan pengorbanan darah-Nya di kayu salib. Ulos masih tetap bisa digunakan dalam porsinya yang tepat. Namun, jikalau pun ada pertentangan terhadap orang yang belum memiliki “pengetahuan”, maka baiklah orang yang memiliki “pengetahuan” menahan diri agar tidak menjadi batu sandungan bagi mereka.
TANGGAPAN UMUM ATAS FENOMENA
            Alkitab mengajarkan bahwa ada semacam semangat keterbukaan terhadap adat dan berbagai produk budaya yang ada[17] namun keterbukaan yang dimaksudkan disini secara keseluruhan adalah keterbukaan yang selektif dan tidak membabi buta. Demikian juga tanggapan Alkitab terhadap ulos sebagai salah satu produk dari kebudayaan. Ulos harus ditanggapi dengan sikap terbuka dan tidak langsung memberangus semuanya.
            Ulos adalah sebuah karya hasil berpikir manusia. Ada kandungan makna dan nilai yang terkandung di dalamnya yang sarat akan nilai dan sangat luhur. Ada makna yang dalam dan kental dengan sistem nilai masyarakat jika melihat dari sudut pandang antropologi-kebudayaan yang terkandung dalam ulos. Jika seandainya ini dimusnahkan begitu saja, dari perspektif ini, hal itu merupakan sebuah kerugian besar. Nilai luhur sebuah suku dan bangsa hilang begitu saja. Sehingga, kekayaan intelektual itu tidak bisa dinikmati lagi oleh generasi berikutnya.
            Beberapa alasan yang menyebabkan ulos menjadi barang najis seperti yang dipaparkan diatas pada dasarnya lebih bertendensi pada mitos dari pada kebenaran faktual. Ambillah contoh tentang zat pewarna, Oloan Pardede masih dalam tulisan yang sama mencoba menjelaskan bahwa bahan utama dari pewarna ulos adalah zat yang berasal dari pohon nila (salaon)[18] dimana bahan baku ini akan diproses dengan beberapa langkah sampai menghasilkan warna yang diinginkan. Kemudian benang dimasukkan untuk mendapatkan warna benang yang diinginkan.
            Alasan utama kenapa ulos menjadi barang keramat adalah harus ditinjau dari sudut sejarah kebudayaan. Sebelum alat tenun ditemukan, orang Batak mula-mula menutupi badannya dengan menggunakan dedaunan dan ranting yang ada. Namun, mulai pada abad keempat belas, teknologi ketika itu sudah menemukan alat tenun tangan[19] dan mulailah dihasilkan ulos yang sangat berguna dalam keperluan sehari-hari dan keperluan ritual adat istiadat. Ketika misionaris Jerman dan Belanda datang ke Indonesia, khususnya ke tanah Batak, maka orang Batak turut serta meniru cara berpakaian mereka. Akibatnya ulos yang awalnya merupakan bahan tekstil utama mulai disampingkan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam acara ritual adat. Sehingga hal ini mengakibatkan ulos menjadi jarang “keluar kandang”. Akibat dari jarangnya ulos “keluar kandang” adalah ulos dianggap menjadi barang keramat. Karena lebih banyak disimpan ketimbang dipergunakan, maka ulos pun mendapat bumbu “magis” atau “keramat”.[20] Sehingga dari pemahaman ini, terlihat bahwa alasan historis antropologis mampu menjelaskan kenapa ulos menjadi semacam benda keramat.
            Dalam Roma 14:17, “Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.” Memberikan sebuah implikasi kepada kita bahwa perdebatan tentang ulos adalah sebuah perdebatan yang penting, namun tidak esensial jika dilihat dari sudut pandang kerajaan Allah. Keselamatan tidak berbicara tentang apa yang manusia makan, minum, atau pakai.  Tetapi keselamatan berbicara tentang damai sejahtera dan suka cita dari Roh Kudus.
            Walaupun manusia sudah jatuh kedalam dosa, itu berarti kebudayaan manusia juga sudah tercebur juga dalam lembah dosa, tetapi itu tidak berarti darah Kristus tidak serta merta menghapus dosa itu. Darah Kritus juga membersihkan pengaruh dosa dari kebudayaan manusia. Walau kejahatan itu sudah semakin dan semakin kuat, namun bukanlah sesuatu yang tidak mungkin jika budaya itu akan terus diperbaharui oleh Kristus melalui anak-anak-Nya untuk dan menjadi kemuliaan-Nya.[21]   
 
KESIMPULAN
            Kebudayaan memang sesuatu yang sangat licin, sulit didefenisikan, dan terus bergerak. Itulah yang membuat dia menjadi sesuatu yang unik dan harus terus dipantau. Kebudayaan adalah sesuatu yang inheren dalam diri manusia, sehingga dia memegang peran yang mungkin sentral dalam mengatur kehidupan manusia itu sendiri.
            Banyak juga kontroversi atau benturan yang terdapat di dalamnya. Batak Toba adalah salah satu dari sekian banyak suku yang juga mengalami kontroversi dan benturan itu. Salah satu produk budaya yang sedang (masih) marak dibicarakan adalah kontoversi pembakaran ulos.
            Ada beberapa alasan kenapa ulos dianggap najis oleh sekelompok orang tertentu dan inilah motif mereka yang utama sampai akhirnya mereka dengan penuh keyakinan membakar dan memusnahkan ulos dari rumah atau tempat tinggal mereka. Alasan mereka sebenarnya cukup mulia agar melalui tindakan itu, mereka lebih mengasihi Tuhan Allah dengan lebih baik lagi.
            Dari sudut pandang Alkitab dan antropologi-kebudayaan, keberatan-keberatan mereka tampaknya tidak terlalu kuat untuk dipertahankan. Keberatan-keberatan mereka tampaknya tidak terlalu beralasan, sehingga pandangan mereka sepertinya tidak perlu terlalu ditanggapi. Namun demikian bukan berarti pandangan itu harus direndahkan, namun harus tetap dihargai.
Alkitab mengajarkan dua sikap terhadap budaya, yaitu pertama, sikap yang terbuka selektif maksudnya adalah manusia harus tetap terbuka pada adat dan kebudayaan yang ada, namun tidak semua budaya itu harus diterima dengan utuh, harus diseleksi mana budaya yang baik dan mana budaya yang tidak. Kedua, budaya harus mengalami transformasi atau pembaharuan. Darah Kristus sudah menyucikan semuanya, termasuk kebudayaan masing-masing suku. Hanya diperlukan agen perubahan dan inovator untuk segera merealisasikan itu semua.
Meminjam umpasa (perumpamaan) Batak, “Ompu parjolo (Raja jolo) martungkot siala gundi, pinungka ni parjolo siihuthon na di pudi.” (terjemahan bebasnya adalah, “Yang sudah dilakukan oleh nenek moyang dahulu, hendaklah diikuti oleh generasi berikutnya.)  Yang kemudian disadur lagi oleh Mangapul Sagala menjadi, “Ompu parjolo (Raja jolo) martungkot siala gundi, pinungka ni parjolo sipadengganon  na di pudi.”[22] (terjemahan bebasnya adalah, “Yang sudah dilakukan oleh nenek moyang terdahulu, hendaklah diperbaiki oleh generasi berikutnya.) Demikianlah sikap kita terhadap kebudayaan.
 
Gambar